Senin, 10 September 2007

Harmonia Victoria

Di bawah bulan, sesosok malaikat melesat tergesa ingin memberitahu seluruh jagad tentang berita gembira yang baru saja ia dengar. Secepat cahaya. Sang Bulan tak sempat bertanya, namun matahari sudah tersenyum lebih dulu, membuat arak-arakan awan dengan penuh pengabdian bersedia mecerai beraikan kawanannya agar sorot cinta Sang Mentari tidak terhalang sampai ke taman itu, menghangatkan bebungaan anggrek dan melati yang sedari malam bertasbih seraya menunduk penuh syukur atas tibanya satu masa yang lama dinantikan oleh seribu galaksi di tepi tembok langit.

Kumbang-kumbang baru saja mulai bangkit setelah suntuk semalam menangis haru. Sambil mengusap air mata mereka merangkak-rangkak mendaki-daki tangkai-tangkai meraih-raih kelopak-kelopak yang subhanallah, terlihat sangat jelita pagi ini seakan sedang dijadikan cermin oleh para bidadari surga yang hari ini bersolek lantaran bahagia tidak kepalang. Namun kupu-kupu yang sayapnya berwarna emas keburu hinggap di atas kelopak melati, berlutut penuh wibawa di depan warna putihnya, laksana seorang ksatria yang baru saja sampai di hadapan jendela sang putri yang baru bangun.

Sayapnya memantulkan cahaya yang membuat silau para kumbang, membikin iri lilin-lilin yang satu demi satu dimatikan apinya, sebagian karena angin. Sejuk, angin itu membawa aroma parfum yang biasa dilumurkan ke tubuh para bidadari surga, menggesek dedaunan dan wush...bunga-bunga menari dengan harmoni. Kupu-kupu beranjak, kumbang-kumbang ikut beterbangan berputar-putar, membuat ritmik ritual tarian yang unik, mengundang sepasukan capung bergabung ke pesta itu dan bergairah untuk merayakan hari ini.

Dan orkestra pun dimainkan, suara gesekan angin pada melati dan anggrek berpadu dengan dengungan sayap kumbang dan nyanyian capung-capung, harmoni alam yang indah, dan hey!...Dengar...suara anak-anak kecil riang berlari berputar-putar seakan mereka baru saja dilahirkan. Pakaian mereka putih suci, membentuk barisan naga yang dikepalai seorang bocah yang nyegir menampakkan barisan giginya. Ia menyelimuti dirinya dengan bendera hitam, bendera kemenangan, panji kaum pejuang yang ia ikat ke lehernya seperti Superman, berkibar karena ia lari melawan arah angin. Tertawa-tawa, kaki-kaki mereka telanjang memijak rerumputan yang baru saja tumbuh tadi subuh. Berlari-lari di antara rumah-rumah tembok berpintu kayu. Kucing-kucing terbangun dan segera beranjak dari depan pintu-pintu sesaat sebelum dibuka oleh para tuan rumah.

Orang-orang sekampung berhamburan ke tanah-tanah berumput, memakai pakaian terbaik mereka, indah, berwana-warni seperti kumpulan permen, menyanyi-nanyi dan meniup terompet, dan lagu itu dimainkanlah. Orang-orang tua menyisir kumis mereka, para ibu mengelilingi kuali sedang memasak sajian paling istimewa. Kaum perawan keluar dari persembunyian usai menganyam kain-kain selendang, mereka ikut menari-nari dengan wajah halus berseri, cahaya bebintang telah pindah ke bola-bola mata mereka hingga jin-jin jatuh terpesona menyaksikan jari-jari lentik itu membuat iringan dengan lambaian kerudung putih melati.

Sungai kecil mengalirkan air terjernihnya membasuh dahaga panjang negeri yang kering terbakar kerinduan akan saat-saat di mana tinta hanya akan menuliskan sabda Langit dan mata pena setajam lidah para ulama. Ikan-ikan keperakan membelalakan mata bergembira telah tiba di sebuah negeri yang dipenuhi percikan susu dari sungai surga hingga batu-batu menyingkir agar tidak menghalangi mereka terbawa arus yang membasuh kaki-kaki mungil anak-anak suci yang mulai memukul-mukul permukaan air hingga percikan-percikan itu bersemburat ke sekeliling lalu ditembus oleh cahaya surya hingga terbentuklah warna-warna jingga, ungu, hijau, biru membuat pipi merah mereka terlihat lebih rona dan gigi-gigi mereka tidak terlihat ompongnya.

Lalu derap kuda-kuda pilihan, hitam, putih, coklat yang gagah bergema. Rambut mereka tersibak angin dan mereka memejam-mejamkan mata seolah menikmatinya seperti telah berabad berada di medan perang yang tak berangin lalu menyengir untuk menebarkan salam kemenangan pada seisi kampung. Di atas punggung mereka terduduk gagah pemuda-pemuda yang cengkeramannya tidak pernah melemah, menatap tajam ke depannya sembari berzikir tiada henti. Dahi mereka menghitam rahang mereka mengeras dihiasi baret-baret luka dan bonyok menemani kantung mata yang menyiratkan peluh lantaran jarang tidur dan menghabiskan malam-malamnya untuk menyerap Kekuatan Langit. Salah satu di antara mereka telah kehilangan salah satu mata, yang lainnya kehilangan sebelah tangan, ada juga yang kehilangan daun kuping, namun mulut mereka yang sedari tadi berzikir perlahan membuka menampakan gigi-gigi rontok tersenyum karena menemukan hijau rumput kemilau yang mereka impi-impikan gumam-gumamkan sepanjang perjalanan di atas pasir dan batu.

Sampai di sungai tapal-tapal kaki-kaki kuda-kuda itu membenam di air mengejutkan ikan-ikan karena tiba-tiba mencium bau-bau negeri-negeri bermusim-musim di seberang padang dan seberang laut. Seorang Ksatria turun dari kudanya lalu meletakan panji hitamnya di atas rumput dengan penuh khidmat dan kehormatan, kemudian perlahan mendekat ke sungai dan membasuh wajah melunturkan bercak-bercak darah yang membawa kabar kematian orang-orang pengkhianat yang tidak mau mengenal Tuhan mereka.

Dan lagu itu masih dimainkan menandakan orang-orang tadi : anak-anak tua-tua ibu-ibu gadis-gadis berbarengan mendekati para Ksatria sambil berseri-seri menampakan kehangatan dan persaudaraan sambil mengibarkan penuh riang panji-panji hitam dan putih menari-nari berputar-putar melompat-lompat mengibarkan jubah-jubah berwarna-warni, kerudung-kerudung putih, topi-topi jenaka hingga kawanan kumbang itu, capung dan kupu-kupu menghentikan tariannya dan sepakat untuk bergabung dengan para manusia lalu ikut menari-menari-nari dan berputar-putar.

Sebuah sambutan yang tak terduga dengan ekspresi kemenangan yang semarak, para Ksatria terharu lalu menangis dan berpelukan antara sesama mereka kemudian bersujud menempelkan dahi, hidung dan bibir mereka di atas rumput sambil melantunkan

Alladziina aamanuu wa haajaruu wa jaahadu fii sabiliillaahi bi amwaalihim wa anfusihim a’dzamu darajatan indallaah wa ulaaika humulfaaizuun...

Dan malaikat tadi sudah selesai memanggil kawan-kawannya lalu beribu pasang sayap turun membumi dan seketika mendengar lantunan para Ksatria mereka bersujud hingga matahari menyangka bahwa sepotong taman surga telah terjatuh ke atas bumi. Terima kasih iman.[]

Cimahi, 9 September 2007