Jumat, 27 Juli 2007

Mimpi Tujuh Abad

"Sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukan Konstantinopel dam sebaik-baik Panglima adalah panglim yang memimpin pasukan yang menaklukan Konstantinopel", begitu sabda Rasulullah di tengah paraq shahabat. Waktu itu Byzatium alias Romawi Timur merupakan sebuah dinding kokoh yang penuh dengan legenda heroik, buku-buku sejarah Romawi diisi oleh kisah-kisah penaklukan, perang yang selalu dimenangkan, formasi infanteri yang ditakuti. Romawi adalah profil imperium yang menggenggam cincin kekuasaan dunia.

Oleh karenanya, barangkali jika saya hidup pada masa itu, mimpi menaklukan Konstantinopel akan saya anggap utopis. Apa sih yang bisa dilakukan oleh para penghuni gurun yang tidak punya sejarah selain perang antar suku? Kekuatan apa yang dipunyai oleh kumpulan manusia yang tidak pernah dilirik oleh adidaya-adidaya yang penah menguasai dunia?

Tapi apa mau dikata. Sejarah Islam bergulir. Dinamika masyarakat peradaban yang diwarnai oleh berbagai motif manusia mengisi lembar-lembar sejarah yang tidak selalu putih. para Sultan boleh memimpin dan saling berebu tahta silih berganti, namun mimpi penaklukan itu terus menghantui setiap generasi. Pemuda-pemuda itu penasaran, maka ekspedisi itu terus dilakukan. Dua dinasti telah berkali-kali mengirim pasukan ke Konstantinopel, tujuh abad berlalu sejak sabda itu terucap dan mimpi itu belum juga terwujud.

Namun ada satu konsistensi di sini. Ekspedisi itu tidak pernah berhenti hanya lantaran trauma atas kegagalan masa lalu. Setiap ekspedisi baru adalah titik nol. Itulah yang menegasikan kekecewaan dan melupakan pengalaman pahit itu. Dan Iman menanamkan aksioma di alam bawah sadar bahwa mimpi itu tidak mungkin tidak terwujud. Pasti terwujud, karena itu kabar dari langit, namun entah kapan, entah generasi siapa, dan dari bangsa apa pasukan terbaik itu lahir. []

Nilai Mimpi

Kata orang, kisah Kera Sakti yang menempuh perjalanan ke Barat mencari Kitab Suci adalah kisah tentang sekelompok makhluk yang mewakili karakter-karakter yang ada pada manusia. Barangkali Sun Go Kong mewakili karakter pembangkangan, kenakalan, dan ketidak sabaran manusia. Temannya Si Babi adalah sifat kerakusan dan orientasi nafsu yang ada pada setiap manusia, sedangkan temannya yang satu lagi adalah wakil kenaifan sekaligus kesetiaan.

Namun justru bukan di situ inti ceritanya. Raja Langit tidak berhasil mengubah karakter Sun Go Kong walaupun ia dihukum ditimpa oleh gunung lima jari selama lima ratus tahun. Sisi dramatis terbentang ketika Sun Go Kong mulai menemukan sisi-sisi dirinya yang lain setelah bertemu dengan Sang Biksu yang memperkenalkannya dengan sebuah impian baru : Menemukan Kitab Suci di Barat dan menjadi Budha yang kekal.

Perjalanan panjang yang penuh halangan dan rintangan yang menghadang ternyata telah membantu Sun Go Kong menemukan sisi kepemimpinan di samping kepembangkangannya, ketanggungjawaban di samping kenakalannya, dan sisi keteguhan dan konsistensi di samping ketidaksabarannya. “Perjalanan ini harus ditempuh langkah demi langkah”, begitulah biksu itu sering mengulang-ulang. Namun begitu, sesungguhnya perubahan pada diri kera itu bukan hanya hasil mentorship sang guru yang sabar, melainkan juga hasil pergulatan diri Go Kong ketika keangkuhan dan kesombongannya dibenturkan dengan ketakutan, keraguan, dan keputusasaan, dan pada titik kritis itu, kejelian jiwa melihat celah menuju keberanian dan persistensi.

Dan jiwa ini pun menular pada seorang pemuda pengamen di perempatan jalan. Pernah suatu kali lantaran saya tidak punya receh, dan kebetulan mungkin penumpang lain pun demikian, seorang pengamen berlalu dari pintu angkot setelah lama menyanyi. Di wajahnya tidak tergurat sedikitpun kekecewaan atau rasa kesal. Dan saya yakin kejadian itu bukanlah yang pertama kali ia alami pada hari itu.

Gengsi sudah tak berlaku lagi. Mimpi-mimpinya memberi visualisasi yang membius lalu menggerakan akal, hati dan fisiknya untuk mengejarnya. Semua yang ia alami selama perjalanan hanyalah proses yang ada untuk dinikmati, karena tidurnya, lamunannya, gumamannya, sudah menjadi penampakkan kefanatikannya pada mimpinya.

Mungkin mirip dengan seorang gadis remaja yang menempelkan foto-foto seleb idolanya di buku diary dan dinding kamarnya. Namun sebetulnya lebih dari itu. Mimpi ada bukan untuk sekedar dikagumi. Seorang pemimpi sejati tidaklah puas jika ia berjarak dengan mimpinya. Selalu ada upaya keras dan pemaksaan diri untuk memperkecil jarak itu, karena mimpi menuntut dipenuhi.

Sangat mungkin sakit hati terjadi saat mimpi itu begitu sulit untuk terpenuhi, namun “rasa takut akan penderitaan justru lebih menderita daripada penderitaan itu sendiri. Dan tak ada hati yang menderita saat mengejar impian-impiannya, sebab setiap detik pencarian itu bisa diibaratkan pertemuan kembali dengan Tuhan dan keabadian,” begitu tutur sang alkemis pada si anak gembala.

Dan si anak gembala mengulang pada hatinya, “setiap detik pencarian adalah pertemuan dengan Tuhan.” [ ]